affiliate marketing

Translate Here

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Google Translate Modified by Reshaaz.Afif.ElAzizy
Home » , » Sebuah Revolusi karena Malaikat

Sebuah Revolusi karena Malaikat

Sinar matahari yang sangat panas, membakar tubuhku yang kering keronta, seakan-akan tulang-tulang yang tertutup kulit ini seperti terbakar oleh panas yang sangat luar biasa. Aku berjalan dengan tertatih-tatih, karena sinar matahari yang panas dan perut yang kosong, membuatku tidak mampu berjalan dengan tegap. Asap kendaraan bermotor yang  
sangat mengganggu pernapasan, membuat tanganku harus sesekali mengibas-ibas di depan mukaku untuk menyingkirkan asap. Suasana di kota Jakarta yang seperti ini, bukanlah hal yang mengherankan untukku. Sudah dua puluh tujuh tahun aku hidup di kota yang menyakitkan seperti jeruji besi. Aku bisa berkata demikian, karena memang di dalam jeruji besi sangat menyakitkan. Sudah tak terhitung lagi berapa kali aku telah meringkuk di penjara. Hidupku pun tidak jauh dari minuman keras. Minuman yang bagiku sangat manjur untuk menenangkan hatiku. Hidupku sehari-hari ku gunakan untuk melakukan pekerjaan haram maupun halal.

Matahari telah bergeser ke arah barat. Suara adzan Ashar pun berkumandang, tapi aku tak mempedulikannya. Walaupun aku tahu betul agama dan ibadah, namun hatiku belum tergerak untuk disiplin melakukan ibadah wajib ini. Hanya sesekali saja aku melaksanakannya. Itupun dengan hati yang terpaksa.

Ku teruskan perjalananku menyusuri jalan setapak yang sedikit becek entah karena apa. Aku mengorek tumpukan sampah yang menjulang tinggi untuk mencari sisa-sisa makanan yang dibuang sia-sia oleh mereka yang tidak mengerti susah payahnya aku mendapatkan secuil nasi. 

Setelah memperoleh apa yang ku cari, ku lanjutkan perjalananku kembali ke rumah. Rumah yang tersusun dan beralaskan kardus-kardus rongsok. Aku, Ibu, dan adik-adikku menyantap makanan lezat yang ku dapat dari mengorek sampah dengan lahap. Ku lihat raut wajah mereka yang menampakkan kebahagiaan palsu. Raut wajah yang berusaha menutupi kesedihan. Raut wajah yang selalu membuatku ingin menangis dan menghina diriku sendiri. ‘Abidin! Kamu ini bodoh! Lemah! Tidak tahu berterima kasih! Kemana rasa ibamu kepada Ibu dan adik-adikmu! Mana!’. Kalimat itu yang selalu menyelimuti kehidupanku. Kalimat yang membuatku menyalahkan Ayah yang telah meninggalkan Ibu demi wanita lain yang bisa memberinya kepuasan material. Kepergian Ayah membuat kami mengalami kelaparan dan jatuh miskin. Santapan makan malam pun selesai. Dan saatnya hal yang paling membuat aku bahagia, yakni ketika ku melihat mereka tertidur. Wajah teduh yang selalu ingin aku lihat dan raut wajah tanpa beban. Aku pejamkan kedua mataku sambil menekap foto seorang perempuan berjilbab yang telah merebut hatiku.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku berjalan di pinggir lalu lintas yang mengalami kemacetan. Sebuah toko baju menarik perhatianku. Aku pun masuk dan melihat-lihat baju di toko ini. Meskipun ada keinginan untuk membeli baju, namun aku masih tahu diri. Tak mungkin aku membeli baju bagus seperti ini. Ketika aku sedang asyik melihat baju-baju, ku lihat seorang wanita paruh baya yang duduk diatas kursi roda ditemani oleh seorang perempuan berjilbab yang wajahnya sangat cantik, teduh, dan damai. Wanita yang duduk diatas kursi roda itu memakai cadar sehingga aku tidak mampu mengetahui siapa dia, namun perempuan yang menemaninya sangatlah aku kenali. Perempuan yang telah merebut hatiku. Perempuan yang tempo hari tasnya telah aku copet. Aku bagaikan serigala yang jatuh cinta pada mangsanya. Hatiku sangat ingin selalu melihat wajah perempuan itu. Aku ikuti kemana perempuan itu pergi. Namun dia mempercepat langkahnya. Mungkin karena menyadari adanya aku. Dia masuk ke dalam sebuah mobil mewah bersama wanita paruh baya tadi. Hatiku makin ciut saja mengetahui bahwa perempuan itu sangatlah kaya. Mungkin untuk bisa bersanding dengannya adalah hal yang sangatlah mustahil.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Wajah itu selalu datang setiap aku mengedipkan mata. Setidaknya masih ada foto ini yang bisa mengobati rasa rinduku. Foto yang ku ambil setelah mencopet tasnya. Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Hari demi hari aku lalui dengan perasaan cinta. Aku coba mencari tahu namanya dan tempat tinggalnya. Tapi, tak pernah ku dapatkan. Hingga suatu hari, aku melihat ada seorang pencopet yang mencopet tasnya. Aku kejar pencopet itu, aku pukuli dia dengan segenap amarah, karena perempuan cantikku telah diganggunya. Setelah mendapatkan apa yang aku mau, aku kembali ke tempat dimana aku bertemu perempuan itu. Saat-saat yang tak aku sangka, aku bisa menatapnya dengan dekat.

“Ini tas kamu,” sambil ku kembalikan tas merah miliknya.
“Terima kasih,” dengan senyum yang indah. Walaupun ia menundukkan wajahnya, tapi senyum itu tetap terlihat jelas.
“Sama-sama. Perkenalkan, namaku Abidin. Nama kamu siapa?”
“Nama saya Kirani. Maaf, saya terburu-buru. Sekali lagi, terimakasih,”
Dia langsung pergi sambil tetap menundukkan wajahnya. Mungkin ia tidak terbiasa berbicara dengan lelaki. Jantungku tetap saja berdebar-debar dengan cepat. Dia lebih cantik, lebih lembut, dan lebih indah dari yang ku kira. Kejadian tadi membuatku bisu tanpa kata. Aku tersadar dengan lamunanku. Langsung aku mengikutinya untuk mengetahui dimana dia tinggal.

Aku agak menjaga jarakku agar dia tidak merasakan kehadiranku. Dia masuk ke dalam rumah yang sangat besar. Putih, mewah, dan dengan pengamanan dua orang satpam. Jelas sangat mewah, mobilnya saja bermerek terkenal. Mulutku menganga melihat rumahnya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seperti hari-hari yang lalu, aku pergi menuju tempat kerjaku dengan langkah gontai. Setelah tiba, aku ambil peralatan untuk mendapatkan uang. Keranjang, caping, dan tongkat untuk mengambil sampah. Banyak orang yang memandang pekerjaanku hanya sebelah mata. Padahal pemulung sangat membantu membersihkan sampah-sampah di lingkungan dan tanpa dibayar oleh pemilik sampah.

Aku memilah-milah sampah yang pantas untuk aku ambil. Tiba-tiba aku teringat lagi oleh wajah cantik itu. Aku sangat ingin berbincang-bincang lebih lama lagi dengannya. Apakah ada hari dimana aku dan dia duduk bersama dan saling bercerita? Untuk mengurangi rasa rinduku, aku datang ke rumahnya. Dengan tujuan untuk memulung, pasti aku tidak akan dicurigai. Toh, aku sudah mendapatkan cukup banyak sampah, sehingga nanti disana aku hanya berpura-pura memilah sampah. Jarak rumah Kirani dengan rumah yang ku singgahi sekarang, cukup dekat. Mungkin sekitar 100 meter. Hanya dalam waktu sekitar 25 menit, aku sudah berada di depan rumahnya. Pagar dibuka dan keluarlah seorang gadis yang berlari sambil menangis.

“Kirani!” teriakku sangat kencang.
Namun dia hanya menoleh dan berlari lagi. Aku mengejarnya. Namun dengan beban sampah-sampah yang ku bawa ini, sangat menghalangiku untuk mendahului Kirani. Dan tidak mungkin aku meninggalkan keranjangku karena aku tidak akan mendapatkan uang tanpa keranjang lusuhku. Kirani berhenti ketika kami sampai di sebuah taman yang indah. Dia diam cukup lama dan termenung. Dia menjatuhkan tubuhnya seolah-olah dia tak mampu menahan beban dipundaknya. Suara isak tangisnya sangat jelas ku dengar. Bukan tangisan manja, tapi tangisan penuh penyesalan dan kesedihan.

“Kirani,” panggilku lirih.
Tak ada sedikit pun kata yang muncul dari bibir lembutnya. Aku mendekati dia. Hatiku sangat sakit dan hancur ketika melihat air mata membasahi pipi merah meronanya. Aku mencoba menghapus air matanya, namun tanganku diempaskannya. Aku sangat mengerti sikapnya yang demikian. Aku tahu dia tidak ingin kulitnya yang suci itu tersentuh oleh lelaki. Sekitar 20 menit, dia berhenti menangis.
“Abidin,” suara lembut yang indah itu keluar dari bibirnya.
“Iya, Kir? Mengapa kamu menangis?”
“Aku menyesal dilahirkan di keluargaku. Aku menyesal hidup sebagai salah satu keluarga Diwoyo. Yang aku dapatkan di rumah itu, hanyalah penderitaan dan kesedihan. Ibuku yang selalu memberikan kasih sayang sekarang hanya berada di kursi roda. Sedangkan Ayah tidak pernah memberiku kasih sayang yang cukup. Setiap saat, memang selalu ada uang yang lebih di ATM ku. Namun aku tidak membutuhkannya! Aku membutuhkan kasih sayang! Bahkan, ketika hari dimana aku dinobatkan sebagai seorang sarjana terbaik, Ayah menganggap itu adalah hal yang sangat biasa. Dengan alasan pekerjaan, dia membiarkanku merasakan kehampaan di hari bahagiaku. Aku benci semua ini, Din! Kau tahu, sekarang Ayah memonopoli semuanya. Uang, rumah, dan keadaan. Dia juga membawa wanita lain yang lebih muda dari Ibu. Padahal Ibu bilang bahwa kekayaan yang selama ini dia memiliki, semuanya berasal dari Ibu. Dan cerobohnya, Ibu telah memberikan semua kekayaan pada Ayah secara tidak sadar,” Kirani bercerita panjang lebar dan seolah sangat dekat dan nyaman denganku. Dia sepertinya sangat percaya bahwa aku tidak akan membeberkan hal ini pada orang lain. 

 “Abidin, tolong sekarang ajaklah aku menjadi seperti kamu. Bekerja dan bersenang-senang seperti kamu,” Kirani memohon padaku dengan sangat halus.
“Tapi…”
“Ayolah!” Kirani menarik tanganku.
Apa boleh buat. Akhirnya, aku mengajaknya ke tempat penimbangan sampah. Setelah itu, kami pergi ke tempat agen koran sore untuk meminta koran yang akan aku jual. Kemudian, aku mengajaknya untuk menjajakkan koran-koran sore. Menjualnya kepada orang-orang yang berhenti di lalu lintas, kepada pengendara yang membeli bensin, dan tentunya kepada calon penumpang di stasiun. Aku berusaha membuatnya senang dengan gurauan-gurauanku. Dengan sesekali menceritakan kehidupanku padanya. Sepertinya, dia sangat senang bersamaku hari ini. Tawa dan senyum terindah yang pernah aku lihat dari seorang perempuan.

Sejak hari tu, aku dan Kirani semakin dekat dan lebih terbuka dengan kehidupan kami masing-masing. Hampir setiap hari kami bertemu. Setiap bertemu itu pula, Kirani selalu menolongku mencari sampah. Sekarang, aku tidak pernah lagi mencopet dan melakukan kegiatan-kegiatan haramku sejak mendekati Kirani. Ibadahku pun aku lakukan dengan disiplin dan tertib karena setiap waktu shalat selalu ada Kirani yang mengingatkan. Aku yakin, Tuhan mendatangkan Kirani untuk mengubahku. Bahkan sekarang aku sudah bisa mengaji berkat kegigihan Kirani mengajariku selama 3bulan.

Seperti biasa Kirani membantuku. Tapi, kali ini berbeda. Dia terlihat lebih cantik. Itu membuatku semakin mencintainya. Namun sampai saat ini aku belum mampu mengatakan perasaanku pada Kirani.
“Abidin, terimakasih dan maaf untuk hari ini telah merepotkanmu. Kamu sangat membantuku melupakan sedikit masalah-masalah beratku selama ini,”
“Aku yang seharusnya berterima kasih. Berkat kamu, sekarang aku bisa mengaji dan melaksanakan ibadahku dengan disiplin. Kamu tidak perlu berkata seperti itu karena…”
“Eh, sebentar ya. Ponselku berdering,” belum berhenti aku mengatakan sesuatu, Kirani memotong perkataanku. Setelah mengambil ponselnya, dia melihat siapa gerangan yang menelpon. Wajahnya seperti tidak senang. Saat ku lihat siapa yang menelpon, tertera nama Rudi. Aku hanya diam. Kenapa yang tertera nama Ayahku?
“Dari siapa, Kir?” tanyaku penasaran.
“Ayahku, Din,” jawaban itu membuatku bagaikan tersambar petir, “Aku harus pulang. Ada yang ingin dibicarakan Ayah. Sampai bertemu lain waktu ya, Din. Assalamualaikum,” sambil melambaikan tangannya, dia tersenyum penuh arti. Senyuman yang membuatku jatuh cinta padanya. Senyum yang indah bagaikan malaikat. Aku hanya termenung tanpa memiliki kekuatan untuk menjawab ucapannya.

“Mengapa nama Ayahku sama dengan nama Ayah Kirani? Apakah memang orang yang sama?,” aku bertanya pada diriku sendiri. Namun dengan segera aku yakinkan pada diriku bahwa tidak mungkin Ayahku dan Ayah Kirani sama. Itu sangat mustahil.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah tiga minggu aku tidak bertemu Kirani. Aku tidak tahu alasan mengapa sekarang aku tidak pernah menemukannya duduk di taman yang biasa dia datangi. Bahkan saat aku datang ke rumahnya, aku melihat rumah Kirani sangat sepi. Lebih sepi dari biasanya. Hari ini aku akan pergi ke taman yang biasa Kirani datangi. Dan berharap dia sedang duduk sambil melakukan kebiasaannya, membaca buku.  
“Kirani?”
“Abidin?” dia terlihat sangat kaget dan seketika itu menyembunyikan ponselnya. Seperti ada yang ditutupi dariku.
“Mengapa kamu menghilang selama tiga minggu, Kir? Rumahmu juga tampak kosong,” tanyaku pada Kirani.
“Er.. sebenarnya Ayah melarangku untuk bertemu denganmu, Din. Ternyata, Ayah telah memata-matai kita. Ayah tidak memperbolehkanku bertemu denganmu karena…” Kirani berhenti berbicara ketika akan mengatakan alasan Ayahnya melarangku bertemu dengan Kirani.
“Karena apa?” aku mendesak Kirani untuk mengatakannya.
 “Kirani! Mengapa kamu masih bertemu dengan manusia lusuh ini?” sebuah suara yang berat dan kejam memanggil Kirani.
“Ayah? Mengapa Ayah datang kemari?”
“Kamu tidak perlu tahu. Pengawal! Bawalah Kirani pulang!”
Aku tidak menghiraukan Kirani yang diseret oleh kedua pengawal Ayahnya. Hatiku bagai tersayat bilu saat melihat wajah Ayah Kirani. Wajah yang sangat aku kenali. Wajah yang sangat ku kagumi dulu.
“Kamu…” aku dengan sekuat tenaga berusaha untuk mengeluarkan sedikit suara.
“Abidin, ini Ayahmu. Peluklah Ayahmu ini,” tersirat raut wajah yang sangat bahagia dari lelaki itu.
“Ayah? Aku tidak sudi untuk memanggilmu Ayah!” bentakku pada lelaki ini, “Kamu sudah melukai hati Ibu. Dan aku tidak akan pernah memaafkannya dengan alasan apapun! Dasar manusia tidak tahu diri!”
“Cukup! Harusnya kamu beruntung! Saya masih menganggapmu anak. Jika saja saya tahu bahwa akan disambut demikian, saya tidak akan meminta kamu untuk memanggil saya dengan sebutan Ayah. Dan ini untuk penghinaan kamu kepada saya!” lelaki itu mendekatiku dan… Plak!
“Kamu!” aku menampakkan wajah penuh dendam kepadanya. Dengan hitungan detik, aku meludahi wajahnya.
“Manusia kurang ajar!” dia menghinaku sambil mengibaskan tangannya ke arah wajahku. Namun dengan cepat, aku mencegah tangan itu.
“Dengarkan baik-baik, Bapak Rudi yang terhormat. Tolong jangan katakan pada Kirani, bahwa kita memiliki hubungan darah. Dan satu hal lagi, meskipun saya miskin, saya masih memiliki harga diri. Tidak seperti bapak yang hanya membuang-buang uang milik istri anda sekarang. Suatu hari nanti saya pasti akan membalas semua sakit hati yang diterima Ibu saya, mantan istri anda. Camkan perkataan saya!” aku mengancam lelaki itu, lalu pergi meninggalkannya yang masih terdiam. Mungkin kaget mendengar ancamanku.
Dalam perjalananku, aku masih berpikir. Jika Ayahku adalah Ayah Kirani, berarti Aku adalah kakak Kirani dan aku tidak bisa menjadi suaminya. Bodohnya aku, mengapa aku baru menyadarinya sekarang. Sepertinya rasa benciku muncul pada Kirani setelah mengetahui bahwa dia adalah anak dari wanita yang telah merebut Ayah dari Ibu. Aku memang bodoh telah mencintainya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah seminggu sejak insiden itu, aku tidak pernah bertemu Kirani lagi. Meskipun aku telah berusaha melupakannya, namun masih ada seikit serpihan perasaanku padanya. Bahkan, foto yang dulu ku ambil dari tasnya yang aku copet, belum aku buang.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam . Kamu?” aku kaget melihat Kirani datang ke rumah kardusku.
“Din, hari ini aku akan pergi ke Australia,”
“Lalu apa urusanku dengan keberangkatanmu kesana?” aku melontarkan pertanyaan dengan wajah yang mengacuhkannya.
“Apakah tidak ada yang ingin kamu ucapkan padaku? Ucapan selamat tinggal atau mungkin…”
“Sudahlah, tidak ada yang perlu aku ucapkan. Pergilah!” aku berbicara sebelum Kirani menyelesaikan perkataannya.
“Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Terima kasih untuk semuanya. Ini untukmu,” setelah memberikan secarik kertas padaku, dia pergi meninggalkanku dengan wajah yang tak jelas maknanya.
Surat? Aku segera membaca surat dari Kirani yang bertuliskan ‘Untuk seseorang yang berarti’.
 “Abidin, maafkan aku. Aku harus pergi ke Australia. Ayah telah memilihkanku seorang suami. Dia salah satu partner bisnis Ayah. Walaupun sebenarnya, aku tidak mencintainya. Aku hanya mencintai kamu, Din. Namun, Ayah sangat melarangku untuk mencintaimu. Beliau mengatakan bahwa cintaku padamu pasti akan dilarang oleh Tuhan pula. Entah apa makna yang tersirat dari perkataan Ayah. Maafkan aku yang tak pernah mengatakan hal ini padamu. Kamu perlu tahu bahwa kamu lebih indah dihatiku meskipun aku tidak pernah mengatakannya, meskipun aku tidak pernah mengisyaratkannya, meskipun aku tidak pernah mengizinkanmu menyentuhku. Tapi, itu semua bukan berarti aku tidak memiliki rasa padamu, hanya saja aku ingin cintaku ini suci. Aku sangat berharap kamu akan mengatakan hal sama saat aku akan pergi, sehingga aku masih mampu menolak permintaan Ayah. Namun, jika kamu telah membaca suratku, itu berarti kamu tidak memiliki rasa yang sama padaku. Terima kasih untuk semua yang telah kamu lakukan untukku. Aku bahagia bisa mencintaimu, Din. Semoga kau mendapatkan seorang wanita yang paling baik untukmu. Sampai jumpa.”
Setelah membacanya, ku buang begitu saja di depan rumahku. Untuk pertama kalinya aku mencintai dan dicintai oleh seorang perempuan, sejak aku hidup di jalanan. Aku hanya tertawa saat membaca surat itu. Sebuah surat berisi pernyataan cinta dari seorang adik kepada kakaknya. Fakta yang sangat lucu dan aneh.

Created By : Fany Lucky NaningTyas//X.7//06

Cinta Terlarang

Oleh : The Virgin

Kau kan selalu tersimpan di hatiku
Meski ragamu tak dapat ku miliki
Jiwaku kan slalu bersamamu
Meski kau tercipta bukan untukku

Reff:
Tuhan berikan aku hidup
Satu kali lagi
Hanya untuk bersamanya
Ku mencintainya sungguh mencintainya
Rasa ini sungguh tak wajar
Namun ku ingin tetap bersama dia
Untuk selamanya

Mengapa cinta ini terlarang
Saat ku yakini kaulah milikku
Mengapa cinta kita tak bisa bersatu
Saat ku yakin tak ada cinta selain dirimu

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Al-Hadist

0 comments:

Post a Comment

Silahkan Mengcopy, Asalkan tinggalkan komentar dan jangan lupa beri link sumbernya. Hargai saya dan teman teman saya yang telah susah payah membuat postingan ini :D

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Smansa-x7 - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger